Sebuah Ketulusan |
Mata kanak-kanaknya membulat terheran-heran pada pletikan biji jagung, asap, serta harum yang tertebar kemana-mana Sedangkan nenek tua berpakaian lusuh itu tersenyum melirik anak kecil yang jongkok di sebelahnya.
Mata tuanya meredup melayang entah kemana. Sesekali dicubitnya pipi anak itu. Kemudian diberikannya jagung bakar itu pada anak yang sedari tadi berharap-harap takjub, katanya. "Ambil saja buatmu nak. Tak usah dibayar."
Si ibu mengucapkan terima kasih lalu berkata pada sang ayah, "Lumayan, kita dapat rejeki satu jagung bakar." Lalu mereka meninggalkan taman kota itu dengan kendaraan roda empat mereka.
Tunggu dulu wahai ibu! Mengapa kau menyebutnya sebagai rejeki? Bukankah dengan demikian si nenek tua itu malah kehilangan sebagian penghasilannya yang tak seberapa? Tidakkah kau terpanggil untuk membalas pemberian itu dengan sesuatu yang lebih dari sekedar kata terima kasih? Memang, menerima selalu menyenangkan.
Namun, memberi dengan sikap tulus lebih membahagiakan. Tahukah kau. Wahai ibu. hati nenek tua itu teramat terang; jauh lebih terang dari lampu yang menerangi temaram senja ini.
0 Comments:
Post a Comment